Tidak
Mengerti
oleh Samuel Mulia
Mengerti
itu bagus. Tidak mengerti kayaknya kok jauuh…..lebih bagus.
Judul pamerannya GOODNESS. Idenya dari wejangan/nasihat
yang turun menurun diberikan orang tua ke anak-anaknya. Saya sendiri masih
ngalamin wejangan-wejangan orang tua yang punya background budaya Jawa...misal...kalo
pindahan kontrakan, hari baiknya kapan....atau pas nikah....atau pas mau bangun
rumah.
Saya sendiri kadang
percaya mimpi juga....pernah baca diprimbon Jawa...arti mimpi di jam-jam tertentu
:-) Atau pengalaman saya waktu memberi nama anak saya...aku diajari menghitung
wetonnya untuk menemukan nama yang pas. Kadang ga ngerti juga seh maksudnya
kenapa orang tua selalu percaya itu. Saya kadang mengambil sikap oportunis
aja...kalo itu membawa kebaikan, ya di "amin"in aja :-) lha di
pameran ini sembari berproses secara teknis dan tema untuk mengerti semua
itu....
Demikian
email yang saya terima dari Mas Hendra HeHe. Dan saya sungguh teramat tertarik
dengan kalimatnya “Kadang ga ngerti
juga.” Kalau ia tak mengerti mengapa orang tua percaya cerita di atas, maka
saya sendiri tak bisa mengerti mengapa ada nama orang kok ya HeHe, yang buat
saya itu sebuah ekspresi orang tergelak tawa, saat menuliskannya dalam bentuk
pesan. Misalnya, kamu banci ya? Ya..Hehehe….
Saya
itu sampai berbicara sama diri saya sendiri, kalau seniman itu sukanya ya kayak
gitu. Makin nyeleneh, makin dianggap menarik. Makin tak bisa dimengerti
karyanya, harganya makin mahal. Salah satunya ya karya Mas HeHe ini. Karyanya
belum mampu saya miliki saking price tagnya banyak memiliki nol di belakangnya,
yang tak sesuai untuk ukuran kantong saya dan tak bisa saya mengerti, kok
yaaa…nolnya banyak sekali.
Setelah
membaca berulang kali email yang dikirimkannya kepada saya, saya kemudian bertanya
kepada otak saya, apa sih perlunya
mengerti itu? Apa perlunya mengerti semua yang terjadi di alam semesta ini? Waktu
saya masih duduk dan berkeliaran sebagai mahasiswa kedokteran, mengerti adalah
sebuah keharusan. Katanya kalau mengerti pelajarannya tak perlu dihafalkan. Pengertian
membuat kemudahan.
Saya
tak mengelak bahwa itu ada benarnya. Tetapi dalam perjalanan hidup setelah masa
menjadi mahasiswa drop out, justru mengerti membuat saya takut untuk berbuat
ini dan itu. Mengerti membuat saya seperti barang fabrikan. Mengerti mengundang
rasa takut yang sangat. Mengerti membuat
saya takut kalau saya sampai tidak mengerti dan sampai orang lain tak bisa
mengerti apa yang yang saya sampaikan. Dan ketika orang lain tak mengerti, maka
mereka memberi predikat bodoh secepat kilat.
Berulang
kali kalau saya mengajar di beberapa institusi, saya mengajukan pertanyaan yang
sama, apakah bodoh itu. Ruang berisi sekitar tiga puluhan manusia biasanya
mendadak sepi seperti kuburan. Karena pengertian mengajarkan bodoh adalah kalau
tidak pandai matematika, tidak pandai dalam ilmu pasti. Padahal hidup ini tak
bisa selalu dimengerti. Mengerti itu melelahkan batin dan mematahkan semangat.
Saya
selalu berusaha untuk mengerti mengapa ada orang yang tidak memercayai adanya Tuhan.
Kemudian terjadi pertikaian pengertian ketika saya mencoba mengerti mengapa
demikian. Mau mencoba mengerti memiliki resiko untuk gagal mengerti, bukan
menjadi tidak mengerti. Dan kegagalan mengerti membuat pertikaian terjadi dan
berakhir dengan melahirkan kelompok-kelompok. Tidak mengerti tidak menghasilkan
apa-apa. La wong nggak ngerti.
Saya
mencoba untuk mengerti mengapa banyak orang menasehati saya untuk berbuat baik,
untuk rendah hati, untuk memaafkan, untuk memiliki hati yang tak mudah cemburu,
tak mudah naik pitam, sabar dalam segala hal dan bl bla bla. Sementara berbuat
baik itu baru bisa kalau seseorang pernah berbuat tidak baik. Dan bagaimana
bisa mengatakan ini yang baik, kalau tidak ada pembandingnya yang bernama tidak
baik?
Maka
cita-cita saya dahulu mau menjadi pendeta saya tanggalkan. Karena saya mencoba
mengerti tetapi gagal dan jadi putus asa karena tidak mengerti. Padahal
mengerti yang melahirkan keputusasaan. Saya mencoba mengerti kok ada profesi yang
bisa menasehati orang untuk menjadi baik, padahal ia sendiri tahu kemungkinan
itu kecil sekali dilakukan manusia yang dikotbahi dan dirinya sendiri.
Waktu
saya menulis pendapat ini di sosial media, seorang teman yang mencintai jalan
Tuhan menegur saya, kamu jangan menyindir pendeta. Ketika saya tidak mengerti,
orang lain naik pitam. Bukan kah hak saya untuk tidak mengerti la wong otak
saya beda kok IQ, EQ dan SQnya? Mengerti itu melahirkan cenut-cenut di kepala.
Maka
telah saya putuskan untuk tak perlu mengerti semua kasus yang terjadi di dunia
ini. Saya tak mau melelahkan batin saya untuk selalu mengerti. Kalau melihat
karya Mas HeHe dan melangkahkan kaki masuk ke ruang pamerannya, saya akan
melihat dengan kepala yang kosong, yang tidak dipenuhi dengan analisa, kritik
soal ini dan itu. Saya tak perlu manggut-manggut di depan hasil karyanya, diam
merenung begitu lamanya untuk mencoba mengerti supaya kelihatan sok mengerti. Sok mengerti
itu sudah terlalu out dated. So yesterday gitu loh.
Saya
tak perlu merasa rikuh kalau setelah melihat karyanya, saya tak mengerti apa
yang dibuatnya. Apalagi yang membuatnya saja, sedang dalam masa pencarian,
sedang berproses. Jadi yang membuat karya dan yang menikmati karyanya, sama-sama
tak mengerti. Yang penting saya aminkan kalau dari ketidak mengertian itu, yang
berkarya dan yang melihat karya merasa bahagia di dalam jiwa keduanya.
Tidak
mengerti senantiasa memberi kesempatan untuk mencari. Tak akan berhenti meski
kadang melelahkan, tetapi setelah itu bangkit kembali dan mencari lagi.
Sehingga dunia ini berputar bukan karena penjelasan eksak yang bisa dimengerti,
tetapi karena manusia yang di dalamnya terus mencari, karena mereka tak
mengerti.
Dan
kalau sampai di batas akhir kehidupan, saya dan siapa pun itu tak juga bisa
mengerti untuk sekian banyak episode kehidupan yang terjadi, itu bukan sebuah
kegagalan hidup seorang manusia. Itu sebuah cara mengakhiri hidup dalam sebuah
perjalanan yang membahagiakan jiwa. Seperti cinta yang tak bisa dimengerti,
yang jauh lebih sulit dari matematika, tetapi itu membahagiakan yang
memilikinya. Tidak mengerti membebaskan jiwa. It sets you free!
No comments:
Post a Comment